Penulis: Rip Ferdinand
Di tengah gemerlapnya dunia digital dan kemudahan teknologi finansial, generasi muda, khususnya Gen Z, dihadapkan pada tantangan besar dalam menjalani kehidupan.
Mengutip pernyataan Direktur Utama BRI Finance, Wahyudi Darmawan, Gen Z sering kali menghadapi tantangan dalam mengelola keuangan, yang jika tidak diantisipasi dengan baik, dapat membuat mereka terjebak dalam lingkaran utang, khususnya melalui pinjaman online atau pinjol.
Di balik kemudahan akses ke berbagai layanan keuangan digital, ada risiko besar yang mengintai: gaya hidup konsumtif yang sering kali tidak disadari bisa menjadi bumerang.
Fenomena ini tak lepas dari pola hidup yang kerap terdorong oleh tekanan sosial, seperti keinginan ikut-ikutan teman bepergian ke luar negeri untuk menonton konser atau membeli barang-barang branded terbaru. Seperti dikutip dari Wahyudi, banyak remaja yang rela menggunakan pinjol hanya demi memenuhi gaya hidup tersebut.
Survei Inventure 2024 juga mencatat, 34 persen Gen Z mengakses pinjol dalam enam bulan terakhir, dengan 61 persen di antaranya menggunakan dana pinjol untuk membeli barang konsumsi seperti gadget atau peralatan rumah tangga (Inventure, 2024). Data ini menunjukkan adanya fenomena lipstick effect, di mana tekanan ekonomi justru mendorong sebagian orang untuk membeli barang-barang “affordable luxury” sebagai bentuk pelarian dari stres.
Bukan Sekadar Ikut Tren
Fenomena ini tentu harus menjadi refleksi bagi Gen Z. Di satu sisi, semangat untuk mencoba hal baru adalah karakteristik positif generasi ini. Namun, jika tidak dibarengi dengan kesadaran dan literasi keuangan yang baik, semangat tersebut bisa menjadi bumerang. Seperti diungkap Wahyudi, Edukasi adalah yang paling penting, kalau tidak mereka bisa terjebak ke pinjol akhirnya gali lubang tutup lubang.
Motivasi hidup seharusnya tidak hanya didorong oleh keinginan untuk tampil keren di media sosial atau mengikuti gaya hidup teman. Menurut Aska Primardi dari Jakpat, Gen Z sebenarnya adalah generasi kreatif yang mencari cara-cara cerdas untuk menghemat pengeluaran, misalnya dengan menghindari biaya admin. Sayangnya, motivasi untuk mengatur keuangan sering kali kalah oleh dorongan impulsif untuk tampil eksis.
Media sosial memang menjadi salah satu faktor yang memperparah masalah ini. Banyak influencer yang mempromosikan gaya hidup serba instan, mulai dari tips belanja dengan paylater hingga cara membeli barang mewah dengan cicilan. Padahal, seperti diungkap oleh Rahmat Aryo Baskoro, pendiri RencanaKu.ID, konten edukasi keuangan sering kali kalah populer dibandingkan konten bombastis yang menjanjikan hasil instan.
Motivasi hidup yang sejati adalah tentang membangun kehidupan yang seimbang dan penuh makna, bukan sekadar mengejar tren. Motivasi hidup juga tentang belajar mengendalikan keinginan, mengelola keuangan dengan bijak, dan menunda kesenangan demi masa depan yang lebih baik.
Mengelola Keuangan: Jalan Menuju Kemandirian
Menurut data dari OJK yang dilansir detikFinance, kelompok usia 19-34 tahun, termasuk Gen Z, mendominasi penggunaan pinjol dengan porsi outstanding 51,52 persen. Bahkan, kelompok ini juga mendominasi kredit macet dengan porsi 53,48 persen (detikFinance, 2024). Fakta ini menunjukkan betapa rentannya generasi muda terjebak dalam masalah keuangan akibat gaya hidup konsumtif yang tidak diimbangi dengan literasi keuangan.
Mengelola keuangan bukanlah sekadar tentang menghemat, tetapi juga soal bijak dalam mengambil keputusan. Kita perlu paham bahwa promo-promo menarik di aplikasi pinjol, seperti diskon saat membeli pizza, sebenarnya hanyalah jebakan manis yang mendorong kita untuk berutang. Tidak semua diskon adalah penghematan. Jika sebuah promo menggunakan layanan paylater untuk memperoleh diskon, itu artinya kita sedang mengambil utang.
Motivasi hidup yang sehat berarti memahami bahwa kebutuhan dasar harus lebih diutamakan daripada keinginan. Jika kita ingin membeli barang atau pengalaman tertentu, kita perlu memastikan bahwa kita benar-benar mampu membayarnya tanpa harus berutang.
Membangun Ketahanan Diri di Era Digital
Selain mengelola keuangan, motivasi hidup juga harus diarahkan untuk membangun ketahanan diri terhadap godaan gaya hidup konsumtif. Seperti diungkapkan oleh Aska Primardi, mayoritas Gen Z sudah terbiasa menggunakan e-wallet untuk berbagai transaksi, mulai dari belanja, hiburan, hingga langganan streaming (Jakpat, 2025). Artinya, Gen Z punya potensi besar untuk menjadi generasi yang cerdas finansial jika didukung dengan edukasi yang tepat.
Motivasi hidup bukan hanya soal mencari kebahagiaan sesaat, tetapi juga tentang menyiapkan masa depan. Edukasi literasi keuangan harus dimulai dari hal-hal kecil, seperti membaca syarat dan ketentuan sebelum menggunakan layanan keuangan digital, memahami risiko bunga dan biaya tambahan, hingga membiasakan diri menabung sebelum membeli sesuatu yang diinginkan.
Pemerintah, lembaga keuangan, dan komunitas juga memiliki peran penting dalam membantu Gen Z membangun motivasi hidup yang sehat. Pemerintah perlu mengatur pemasaran produk keuangan agar tidak menyesatkan, sementara fintech harus lebih transparan dalam menjelaskan risiko produknya. Di sisi lain, komunitas dan keluarga harus saling mengingatkan untuk hidup lebih bijak dan tidak terjebak dalam gaya hidup konsumtif.
Refleksi: Hidup Bukan Sekadar Ikut-ikutan
Mengutip pernyataan Yuswohady, makan enak itu tidak dipangkas. Ini menunjukkan, di Indonesia budaya kelas menengah, nongkrong menjadi penting. Memang, nongkrong dan gaya hidup kekinian sudah menjadi bagian dari identitas sosial banyak remaja. Namun, kita perlu merenung: apakah hidup kita hanya sekadar mengikuti arus atau ada nilai lebih yang ingin kita capai?
Motivasi hidup sejati bukan tentang memenuhi standar sosial yang ditetapkan orang lain, tetapi tentang menciptakan standar kita sendiri: hidup bermakna, sehat secara finansial, dan mampu meraih impian dengan cara yang benar.
Sebagai generasi muda, Gen Z punya kesempatan besar untuk menjadi agen perubahan. Mulailah dengan langkah kecil: belajar literasi keuangan, menahan diri dari gaya hidup konsumtif, dan mengutamakan investasi pada masa depan daripada sekadar kesenangan sesaat. Dengan begitu, motivasi hidup bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi menjadi kekuatan nyata untuk menciptakan masa depan yang lebih cerah.(***)






