Cahaya Keteladanan Buya Hamka dalam Layar Perak

Opini237 Dilihat

 

Penulis: Rio Ferdinand

Di tengah derasnya arus modernitas, kehidupan kita sering kali digempur oleh tekanan sosial, tuntutan ekonomi, dan kebingungan nilai. Banyak orang merasa kehilangan arah, kehilangan harapan, bahkan kehilangan makna hidup.

Di saat seperti itulah, sosok seperti Buya Hamka kembali relevan dan penting untuk direnungkan. Melalui film Buya Hamka Vol. 1 & Vol. 2, kita diajak menyelami kisah hidup seorang ulama, sastrawan, sekaligus pejuang yang tak hanya hidup dalam sejarah, tetapi juga menjadi cermin bagi kita yang tengah mencari motivasi dan arah hidup.

Sosok Hamka: Lebih dari Sekadar Ulama

Film Buya Hamka bukan sekadar menyuguhkan kisah perjalanan hidup seorang tokoh agama. Ia adalah representasi dari semangat zaman—seorang pemuda Minangkabau yang haus ilmu, progresif dalam berpikir, dan berani melawan arus. Hamka muda, diperankan oleh Vino G. Bastian, digambarkan sebagai sosok yang tak mau terkungkung oleh dogma lama, berani mempertanyakan otoritas, dan lebih memilih berkelana untuk belajar ke tanah Jawa dan Mekkah, demi membuka cakrawala berpikirnya.

Buya Hamka Vol. 1 menyoroti proses pendewasaan Hamka, baik secara intelektual maupun spiritual. Di tengah budaya masyarakat yang masih feodal dan kaku, Hamka tampil sebagai pribadi yang resah namun visioner. Ia menyadari bahwa umat Islam saat itu tidak hanya butuh dakwah, tetapi juga pencerahan. Maka, ia menulis, berdakwah, dan mendidik, dengan satu tujuan: membangkitkan kesadaran dan harga diri umat.

Keteguhan di Tengah Ujian

Film Buya Hamka Vol. 2 membawa kita pada babak kehidupan yang lebih menantang. Hamka, yang kini dikenal luas sebagai ulama dan penulis besar, dihadapkan pada ujian yang menguras fisik dan batin. Ia dipenjara tanpa dakwaan jelas oleh penguasa karena perbedaan sikap politik. Namun, inilah momen di mana motivasi hidupnya bersinar paling terang. Di balik jeruji besi, Hamka tidak mengeluh. Ia justru menulis karya besarnya: Tafsir Al-Azhar.

Bayangkan, ketika orang lain mungkin akan terpuruk dalam keputusasaan, Hamka justru memanfaatkan waktu di penjara untuk berkarya dan bermuhasabah. Inilah bentuk motivasi hidup yang sejati: menjadikan musibah sebagai peluang, menjadikan kesendirian sebagai jalan mendekatkan diri pada Tuhan, dan menjadikan luka sebagai bahan bakar untuk menulis dan mendidik.

Ia pernah berkata dalam film, “Jika saya ikhlas, maka tidak ada yang bisa menyakiti saya.” Kalimat ini bukan sekadar kutipan puitis, tetapi cerminan keyakinan dalam bahwa setiap penderitaan yang dilalui dengan ikhlas akan bermetamorfosis menjadi kekuatan batin.

Motivasi yang Tumbuh dari Nilai, Bukan Dunia

Di zaman yang serba instan ini, banyak orang termotivasi karena hal-hal duniawi: jabatan, pengakuan, atau materi. Namun Buya Hamka mengajarkan bahwa motivasi sejati berasal dari nilai yang diyakini dan dikejar dengan konsistensi. Ia menolak menjadi boneka kekuasaan, bahkan saat itu berarti harus kehilangan kebebasan. Ia tidak tergoda untuk mencela atau membalas mereka yang menjatuhkannya. Ia memilih jalan yang lebih tinggi—jalan memaafkan dan melayani kebaikan.

Inilah yang membuat kisah hidup Hamka begitu menggugah: ia adalah simbol kekuatan karakter. Dalam banyak adegan, kita bisa merasakan keheningan yang menyelimuti perjuangannya—hening bukan karena lemah, tapi karena hatinya begitu kuat hingga tak perlu berteriak untuk menunjukkan kebenaran.

Relevansi Bagi Generasi Muda: Membaca Jalan Hidup dari Hati, Bukan Algoritma

Generasi muda hari ini hidup dalam era digital yang dipenuhi informasi dan distraksi. Kita terlalu sering menilai hidup dari angka: jumlah likes, followers, atau views. Dalam dunia yang terus membentuk standar sukses semu, kita perlu kembali pada pertanyaan mendasar: untuk apa kita hidup? Untuk siapa kita berkarya? Dan siapa yang kita cari?

Kisah Buya Hamka mengingatkan kita bahwa jalan hidup yang bermakna bukan ditentukan oleh kemudahan, tetapi oleh keteguhan. Ia pernah gagal, ditolak, bahkan dimusuhi oleh orang-orang seideologi dengannya. Tapi ia tidak mundur. Karena ia tidak mengejar pengakuan manusia, melainkan ridha Allah dan kebenaran nilai-nilai yang diyakininya.

Hamka juga mengajarkan pentingnya ilmu, integritas, dan kesetiaan pada prinsip. Di usia muda, ia rela berjalan kaki dari kampung ke kampung demi belajar. Ia tidak cepat puas hanya dengan satu sumber ilmu, tapi terus membuka diri terhadap perbedaan dan diskusi. Ia menulis tidak untuk ketenaran, tapi karena menulis baginya adalah cara berjuang dan berdakwah.

Ketika Film Menjadi Dakwah

Film ini tidak hanya penting sebagai karya seni, tetapi juga sebagai alat dakwah yang lembut namun kuat. Ia menunjukkan bahwa spiritualitas tidak harus hadir dalam ceramah keras atau simbol agama yang mencolok, tetapi bisa menyusup lewat narasi yang menyentuh hati, karakter yang otentik, dan dialog yang mengandung hikmah.

Maka dari itu, Buya Hamka bukan hanya film sejarah, tapi refleksi kehidupan. Ia mengajak penonton untuk merenung: apakah kita sudah hidup dengan nilai? Apakah kita sudah menjadikan hidup ini sebagai lahan perjuangan? Ataukah kita hanya terjebak dalam rutinitas tanpa arah?

Menjadi Lilin dalam Gelap

Di dunia yang sering kali gelap oleh kebencian, ketidakadilan, dan keputusasaan, kisah Buya Hamka hadir sebagai lilin kecil yang menyala. Ia tidak menyilaukan, tapi cukup terang untuk menuntun kita kembali ke jalan kehidupan yang bermakna. Ia mengajarkan bahwa motivasi hidup tidak harus meledak-ledak, tetapi bisa hadir dalam bentuk ketekunan, kesabaran, dan ketulusan hati.

Dan mungkin itulah motivasi hidup terbaik: bukan untuk menjadi orang besar yang dielu-elukan, tetapi menjadi manusia yang setia pada kebenaran, yang tidak menyerah pada kesulitan, dan yang terus berkarya dalam sepi demi kemaslahatan banyak orang.

Karena seperti yang dikatakan Buya Hamka dalam hidupnya dan dalam film ini:
“Jangan pernah merasa sendiri, selama engkau berada di jalan yang benar.”(***)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *