Medan – Di tengah panas yang membakar aspal dan hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu-lalang, seorang pemuda berdiri tegap, memandu satu per satu mobil dan motor agar terparkir rapi. Keringat mengucur deras dari pelipisnya, namun senyum kecil tak pernah lepas dari wajahnya. Namanya Dafa, 19 tahun.
Sejak dua bulan lalu, ia bekerja sebagai penjaga parkir di sebuah area ramai di Jl. Masjid Al Jihad No.22a, Babura, Kec. Medan Baru, Kota Medan, Sumatera Utara 20222 persis di salah satu titik sibuk di kawasan Sei Mencirim yang terus tumbuh di pinggiran kota.
Dafa bukan bagian dari perusahaan besar. Ia bukan pegawai tetap dengan seragam rapi dan tunjangan bulanan. Ia hanya seorang remaja biasa yang disalurkan sebuah yayasan untuk bekerja secara penuh waktu menjaga lahan parkir demi menyambung hidup.
“Dari pagi jam 10 sampai malam jam 9,” katanya singkat, mencoba terdengar biasa saja, meski jelas terlihat lelah di wajahnya. Ia menerima upah sekitar dua juta rupiah sebulan, dan dia juga mendapat penghasilan tambahan dari costumer sebanyak 200 ribuan perbulan, tapi sangat berarti bagi Dafa dan keluarganya.
Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Belum menikah. Hidupnya masih sangat muda, namun sudah dihadapkan pada kenyataan keras kehidupan. “Anak laki-laki harus kuat,” katanya suatu kali, ketika ditanya apa yang memotivasinya. Di rumah, ia menjadi tumpuan. Orang tuanya bukan pegawai negeri atau karyawan kantoran.
Mereka hidup sederhana, dan Dafa memilih tidak tinggal diam. Tak ada keluhan keluar dari mulutnya, bahkan ketika harus berdiri berjam-jam, menahan terik matahari, debu, dan suara bising kendaraan. Pekerjaan yang oleh sebagian orang dipandang sebelah mata ini justru ia jalani dengan penuh tanggung jawab. “Bekerja itu ibadah, yang penting halal,” ucapnya sambil menunduk, memungut selembar tiket parkir yang tertiup angin.
Dafa tak punya cita-cita muluk. Ia hanya ingin hidup layak, membantu keluarganya, dan mungkin suatu hari nanti bisa melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda karena kondisi ekonomi. “Dulu pengen banget kuliah,” katanya lirih. Tapi realita memaksanya mengambil jalan berbeda.
Namun, dari balik semua keterbatasan itu, ada tekad yang kuat dalam dirinya. Dafa adalah gambaran nyata dari ribuan, bahkan jutaan pemuda di Indonesia yang berjuang dalam diam. Mereka tidak viral di media sosial, tidak duduk di bangku universitas ternama, tapi merekalah tulang punggung negeri ini.
Saat sore menjelang, Dafa kembali mengangkat tangannya, memberi aba-aba pada mobil yang hendak keluar. Lelah mungkin belum usai, tapi hari itu ia kembali pulang dengan kepala tegak. Ia telah bekerja, ia telah berjuang, dan itu sudah cukup membuatnya bangga. Di jalanan itu, Dafa berdiri bukan sekadar sebagai penjaga parkir. Ia adalah potret harapan dan keteguhan anak muda yang menolak menyerah pada keadaan.(***)
Penulis: Ade Anggelina Fauziah D
Mahasiswi Fak Ilmu Komunikasi UIN Sumatera Utara






