Dari Pinggiran ke Panggung Dunia

Opini61 Dilihat

Penulis:  Penulis Rio Ferdinand

Selama berabad-abad, dunia sastra didominasi karya-karya dari Barat, khususnya Eropa dan Amerika Utara. Mereka menjadi pusat rujukan, sekaligus penjaga gerbang pengakuan global.

Namun, peta itu kini mulai berubah. Sastra dari belahan dunia yang dulu dianggap pinggiran—Asia, Afrika, Karibia, hingga Amerika Latin—mulai menunjukkan taring dan mengguncang panggung dunia.

Fenomena ini menyimpan sebuah pelajaran berharga: bahwa siapa pun, dari mana pun, bisa menembus batas dan mengukir jejak di panggung global jika terus berkarya, percaya diri, dan membuka jalan melalui kolaborasi lintas budaya. Dalam konteks ini, kerja penerjemahan menjadi jembatan emas yang memungkinkan suara dari pinggiran untuk bergema ke seluruh dunia.

Sastra Hibrida dan Pengakuan Dunia

Di Inggris dan Amerika Serikat, kini bermunculan para penulis dari latar belakang budaya hibrida, anak-anak diaspora yang membawa warisan leluhur mereka ke dalam ranah sastra modern. Nama-nama seperti Zadie Smith (Karibia-Inggris), Jhumpa Lahiri (India-Amerika), Amy Tan (Tiongkok-Amerika), hingga Junot Diaz (Dominika-Amerika) dan Li-Young Lee (Indonesia-Amerika) tak lagi asing di panggung sastra internasional.

Lebih jauh, penghargaan sastra kelas dunia seperti International Booker Prize juga mencerminkan pergeseran ini. Han Kang dari Korea Selatan, Jokha Alharthi dari Oman, dan Geetanjali Shree dari India adalah tiga perempuan Asia yang karyanya berhasil menyentuh dunia, berkat penerjemahan yang baik dan strategi promosi yang matang.

Apa maknanya bagi kita di Indonesia? Jawabannya sederhana namun dalam: potensi kita diakui, tetapi belum sepenuhnya tergarap. Di sinilah motivasi itu tumbuh. Kita punya bekal, kita punya cerita, dan kita punya semangat. Yang dibutuhkan kini adalah keberanian untuk menduniakan karya.

Penerjemahan: Jembatan Antarbudaya

Sejarah telah mencatat betapa pentingnya peran penerjemahan dalam membangun peradaban. Mari menengok ke Bagdad abad ke-8, saat Bait Al-Hikmah didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid dan dikembangkan oleh putranya, Al-Ma’mun. Lembaga ini menjadi rumah bagi ribuan buku dari berbagai budaya—Yunani, Persia, India, hingga Tiongkok—yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Gerakan penerjemahan ini tidak hanya menyelamatkan ilmu pengetahuan dari masa lalu, tetapi juga menyulut kelahiran ilmu baru dan menjadi fondasi Renaisans Eropa berabad-abad kemudian. Semua dimulai dari keberanian untuk memahami “yang lain” dan menjadikannya bagian dari khazanah sendiri.

Gerakan ini bukan sekadar alih bahasa, tetapi pengalihmaknaan. Ia adalah dialog antarsistem nilai, pemahaman lintas budaya, dan langkah awal untuk membangun dunia yang lebih inklusif. Kita bisa menyebutnya sebagai diplomasi kebudayaan paling sunyi namun paling mengakar.

Sastra Indonesia dan Mimpi yang Tertunda

Sayangnya, dalam konteks sastra Indonesia, penerjemahan masih menjadi tantangan besar. Jumlah karya yang diterjemahkan ke bahasa asing masih sangat terbatas. Akibatnya, meskipun kita punya banyak penulis hebat, suara mereka masih teredam di dalam negeri. Sastra kita ibarat mutiara dalam tempurung—indah, tapi belum terlihat dari luar.

Bandingkan dengan Korea Selatan yang mendirikan Literature Translation Institute (LTI Korea) sejak 1996. Dengan dukungan pemerintah, lembaga ini secara aktif memfasilitasi penerjemahan karya sastra mereka ke berbagai bahasa. Hasilnya? Setiap tahun sekitar 100 judul karya sastra Korea diterbitkan di luar negeri. Ini adalah bukti konkret bahwa kerja sistematis dan dukungan negara bisa mengangkat martabat budaya di panggung global.

Mengapa Indonesia belum punya lembaga serupa? Ini menjadi pertanyaan reflektif yang harus dijawab bersama. Namun, daripada larut dalam keluhan, mari kita jadikan ini sebagai pemicu motivasi. Kita perlu mendorong inisiatif serupa, mendorong sinergi antara pemerintah, penerbit, penerjemah, dan sastrawan untuk menduniakan karya kita.

Menerobos Batas, Menginspirasi Dunia

Dunia kini tidak lagi memiliki pusat tunggal. Pinggiran bisa menjadi pusat baru. Dan Indonesia, dengan kekayaan budaya dan cerita yang tak habis digali, punya peluang besar untuk menjadi salah satu episentrum baru dalam peta sastra global. Tapi peluang tidak datang sendiri. Ia harus dijemput dengan kerja keras dan strategi yang cermat.

Bagi para penulis, ini adalah ajakan untuk terus berkarya dan tak takut pada batas bahasa. Bagi para penerjemah, ini adalah panggilan untuk menjadi jembatan antarkebudayaan. Dan bagi pemerintah serta pemangku kepentingan, ini adalah pengingat bahwa investasi dalam kebudayaan bukan hanya soal warisan, tapi juga masa depan.

Kita sudah punya Eka Kurniawan, penulis Indonesia yang masuk nominasi Booker Prize. Tapi satu bintang tidak cukup untuk menerangi langit. Kita perlu rasi bintang—jaringan penulis, penerjemah, dan pendukung yang saling menguatkan. Dan ini bukan mimpi kosong. Korea, Turki, bahkan negara kecil seperti Oman telah membuktikannya.

Menyumbang Peradaban, Memulai dari Hari Ini

Dari kisah gerakan penerjemahan di Bagdad hingga fenomena kebangkitan sastra Asia hari ini, kita belajar bahwa setiap perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang terus dijaga konsistensinya. Dan motivasi terbesar untuk itu bukan sekadar kebanggaan nasional, tetapi hasrat untuk memberi makna bagi peradaban dunia.

Karya sastra bukan hanya tentang estetika. Ia adalah cermin nilai, refleksi budaya, dan jejak sejarah manusia. Dengan menduniakan karya-karya sastrawan Indonesia, kita sesungguhnya sedang menyumbang sesuatu yang lebih besar daripada sekadar buku: kita menyumbang pandangan hidup, kebijaksanaan lokal, dan pesan kemanusiaan dari Nusantara untuk dunia.

Maka, jika hari ini Anda sedang menulis puisi, novel, cerpen, atau esai, jangan kecil hati. Jangan berpikir bahwa itu akan berakhir di rak toko buku lokal. Dunia ini luas, dan siapa pun bisa menembusnya. Tapi syaratnya satu: teruslah menulis, dan percayalah bahwa kata-kata Anda bisa menjadi jembatan yang menghubungkan budaya, menyatukan manusia, dan menyembuhkan dunia.(***)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *