matabangsa.com – Jakarta | Melihat angka-angka distribusi keuntungan dalam program ketahanan pangan, saya tidak bisa menghindari satu kesimpulan sederhana: petani kita masih ditempatkan sebagai aktor paling kecil dalam panggung ekonomi yang mereka bangun sendiri. Dari total nilai produksi padi yang mencapai 360 triliun rupiah, nyatanya pendapatan mereka hanya berada pada kisaran 3,7 juta. Sebuah ironi yang terlalu telanjang untuk diabaikan.
Ketika pengusaha RMU bisa menikmati nilai hingga 159 triliun, dan industri pupuk memperoleh keuntungan 7 triliun, petani tetap berada di ujung paling sempit dari aliran nilai ekonomi. Ini memperlihatkan bahwa struktur rantai pasok pangan kita tidak pernah benar-benar berpihak kepada mereka yang berada di sawah. Di balik jargon ketahanan pangan, ada ketimpangan yang semakin menganga. Temuan ini menjadi sorotan utama dalam diskusi tajam antara Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Faizal Akbar dalam Podcast Faizal Akbar Uncensored, beberapa waktu lalu.
Pendapatan petani yang sangat kecil menandakan bahwa biaya produksi, struktur harga, dan alokasi subsidi tidak mengalir ke pihak yang seharusnya. Subsidi 144 triliun rupiah tampak menguap sebelum sampai ke tangan petani. Jika petani hanya menerima pendapatan kecil, maka pertanyaannya jelas: ke mana larinya subsidi itu?
Opini saya, masalah terbesar bukan hanya pada data—tetapi pada keberanian kita membaca ulang sistem yang selama ini diterima sebagai sesuatu yang normal. Kebijakan pangan tidak sekadar membutuhkan intervensi teknis, melainkan restrukturisasi besar-besaran pada rantai nilai. Selama industri hilir masih menjadi pemenang tunggal, sementara hulu terus ditekan, maka ketahanan pangan nasional tidak lebih dari mitos.
Sudah saatnya pemerintah berpindah dari paradigma produksi semata, menuju paradigma keadilan ekonomi. Petani tidak boleh lagi hanya menjadi penyedia bahan mentah dengan nilai tambah minimal. Mereka harus menjadi subjek yang menikmati hasil dari kerja kerasnya sendiri.
Indonesia memiliki kemampuan untuk swasembada pangan, tetapi swasembada tanpa kesejahteraan petani hanyalah pencapaian statistik. Ketahanan pangan sejati adalah ketika mereka yang menanam padi mampu hidup layak dari hasil jerih payahnya. Dan selama angka-angka distribusi keuntungan masih seperti dalam tabel tersebut, ketahanan pangan kita masih jauh dari cita-cita itu.(***)
#InvestigasiPangan, #TataNiagaBeras, #SubsidiPertanian, #AmranSulaiman, #PodcastAkbarFaisal, #RMU, #PetaniIndonesia, #KebijakanPangan, #KetimpanganEkonomi






