MK Didesak Koreksi Kewenangan Recall DPR dan Potensi Celah Legislasi bagi WNA: Dua Perkara Uji Materi Meledak di Sidang Konstitusi

Hukum, Nasional, Politik61 Dilihat

matabangsa.com – Jakarta | Mahkamah Konstitusi kembali menjadi sorotan publik setelah menggelar sidang lanjutan Perbaikan Permohonan (II) untuk Perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025 dan 200/PUU-XXIII/2025, Senin 17 November 2025. Dua perkara ini disebut menyentuh langsung jantung problem hukum dalam demokrasi Indonesia: kewenangan recall anggota DPR dan potensi celah bagi warga negara asing terlibat dalam proses legislasi nasional.

Sidang dipimpin Ketua Majelis Suhartoyo dimulai pukul 14.16 WIB di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat. Sejak awal sidang berlangsung, atmosfer tegang terasa kuat karena kedua permohonan menghadirkan isu besar yang selama ini jarang disentuh secara terbuka.

Perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025 diajukan lima pemohon yang hadir secara langsung dan daring: Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna. Dalam keterangannya, Ikhsan secara tegas menyoroti dominasi partai politik dalam mekanisme pemberhentian anggota DPR.

Para pemohon menyebut ketentuan recall dalam UU MD3 sebagai bentuk hukuman politik yang sepenuhnya dikendalikan elite partai. Mereka menilai sistem itu merampas kedaulatan rakyat dan membuka jalan bagi praktik politik balas dendam dalam tubuh DPR.

Perbaikan permohonan, pemohon memperkuat argumen dan mengubah objek pengujian ke Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3. Perubahan itu dilakukan karena pasal tersebut dianggap sebagai “akar masalah” recall yang menjadikan anggota DPR terikat pada partai, bukan kepada rakyat pemilihnya.

Para pemohon mengungkapkan bahwa DPR sejatinya adalah representasi rakyat, bukan representasi partai politik. Ketika recall berada sepenuhnya di tangan partai, rakyat kehilangan instrumen kontrol terhadap anggota legislatif — dan menurut pemohon, hal ini bertentangan langsung dengan prinsip konstitusi.

Lebih jauh, pemohon menghadirkan kajian perbandingan internasional tentang praktik recall. Mereka menjelaskan bahwa di berbagai negara demokrasi, keterlibatan konstituen merupakan standar umum, bukan pengecualian. Dengan kata lain, Indonesia tertinggal dalam mekanisme pemberhentian anggota legislatif.

Untuk memperkuat urgensi, pemohon bahkan mensimulasikan model recall berbasis partisipasi konstituen. Simulasi ini mereka ajukan sebagai referensi apabila permohonan dikabulkan Mahkamah, bukan sebagai formula final. Menurut pemohon, perbaikan hukum tidak boleh ditunda karena berpotensi memicu krisis legitimasi representatif.

Sebelum mengakhiri permohonan, pemohon menegaskan bahwa langkah hukum ini bukan bentuk kebencian terhadap DPR maupun partai politik. Sebaliknya, mereka menyebut permohonan ini lahir dari keprihatinan atas lemahnya kontrol rakyat terhadap lembaga legislatif — kelemahan yang berpotensi menciptakan tragedi sosial dan politik.

Petitum mereka meminta Mahkamah menyatakan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Ketegangan meningkat saat sidang bergeser ke Perkara Nomor 200/PUU-XXIII/2025. Pemohon tunggal, Alif Rahman, membawa isu yang tak kalah panas: potensi warga negara asing terlibat dalam proses legislasi melalui Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Alif menilai ketentuan pasal tersebut menciptakan pintu belakang yang memungkinkan kepentingan asing masuk ke proses pembentukan hukum nasional melalui dalih partisipasi masyarakat. Ia menyebut hal itu sebagai ancaman langsung terhadap kedaulatan negara dalam pembentukan kebijakan hukum.

Menurut Alif, warga negara Indonesia berhak mendapatkan kepastian bahwa yang terlibat dalam pembentukan hukum nasional hanyalah WNI. Jika pasal dimaknai luas, maka partisipasi warga asing dapat dilegalkan — dan hal itu dianggap berbahaya dalam konteks geopolitik dan hukum nasional.

Dalam petitumnya, Alif meminta Mahkamah menegaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam legislasi hanya boleh melibatkan orang perseorangan atau kelompok WNI, bukan warga negara asing.

Mahkamah menyatakan telah menerima seluruh bukti, yakni P-1 hingga P-9 untuk Perkara 199 serta P-1 hingga P-6 untuk Perkara 200. Semua bukti disahkan dan dicatat dalam berita acara sidang.

Majelis menegaskan bahwa perkara ini akan dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) oleh sembilan hakim konstitusi. Tahapan berikutnya bisa berupa putusan langsung tanpa pemeriksaan lanjutan, atau sidang pembuktian apabila diperlukan.

Sidang resmi ditutup pukul 14.32 WIB. Para pemohon diminta menunggu informasi lanjutan perkara melalui Kepaniteraan MK.

Dua permohonan ini dinilai sangat berpotensi “mengguncang” sistem hukum politik Indonesia karena menyentuh dua fondasi penting: siapa sesungguhnya pemilik kedaulatan dalam demokrasi, dan sejauh mana kedaulatan legislasi dilindungi dari campur tangan asing.(***)

Tags:

Mahkamah Konstitusi,UU MD3,Uji Materiil,UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,MK RI,Perkara 199,Perkara 200,Sidang Konstitusi,Legislasi Nasional, DPRRIrecall, DPRRI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *