Nilai Produksi Pangan Capai 360 Triliun, Petani Hanya Kebagian 3,7 Juta: Ada Apa dengan Distribusi Keuntungan?

Ekonomi97 Dilihat

matabangsa.com – Jakarta | Program ketahanan pangan kembali menjadi sorotan setelah data distribusi keuntungan yang beredar menunjukkan kesenjangan mencolok antara nilai produksi nasional dan pendapatan petani.

Dalam skema yang disampaikan, total produksi padi nasional mencapai 360 triliun rupiah, didukung subsidi negara sebesar 144 triliun serta biaya produksi luas lahan 11 juta hektare yang mencapai hampir 200 triliun. Namun ironisnya, pendapatan rumah tangga petani hanya berada pada kisaran 3,7 juta rupiah. Temuan ini menjadi sorotan utama dalam diskusi tajam antara Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Faizal Akbar dalam Podcast Faizal Akbar Uncensored, beberapa waktu lalu.

Dari keseluruhan aliran nilai ekonomi, angka terbesar justru mengalir ke pengusaha Rice Milling Unit (RMU) yang mencapai 159 triliun rupiah. Sementara bagian petani yang mencapai 146 triliun tidak berbanding lurus dengan pendapatan mereka yang sangat kecil. Pola distribusi ini memunculkan tanda tanya besar mengenai aktor mana yang menikmati nilai ekonomi tertinggi dalam rantai produksi pangan nasional.

Sektor pupuk juga menempati porsi signifikan dengan alokasi 44 triliun rupiah dan keuntungan perusahaan pupuk yang mencapai 7 triliun. Hal ini mempertegas adanya ketimpangan struktur biaya yang mengalir kembali ke korporasi, bukan ke produsen utama di lapangan.

Bulog, lembaga yang seharusnya berperan sebagai stabilisator harga, tercatat hanya menyerap nilai 11,1 triliun dengan keuntungan 0,4 triliun. Kecilnya porsi ini memperlihatkan bahwa fungsi intervensi negara di hilir tidak cukup kuat untuk menjaga keseimbangan pasar, terlebih ketika nilai terbesar justru jatuh ke pelaku penggilingan.

Distribusi keuntungan yang timpang ini memunculkan dugaan bahwa rantai pasok pangan tidak berpihak kepada petani. Meskipun produksi beras mencapai 30 juta ton per tahun dengan harga 12 juta per ton, petani tetap berada di posisi paling rentan. Kecilnya pendapatan yang mereka terima menunjukkan adanya persoalan struktural yang mengakar.

Pengamat pangan menilai bahwa transparansi alokasi subsidi dan struktur harga perlu segera dibuka ke publik. Tanpa reformasi distribusi nilai, tujuan ketahanan pangan tidak lebih dari slogan, sementara petani tetap terjebak dalam kemiskinan sistemik.

Hingga kini, pemerintah belum memberikan penjelasan detail terkait mekanisme yang menyebabkan ketimpangan ekstrem antara nilai ekonomi dan pendapatan petani. Publik menunggu langkah konkret untuk memastikan bahwa mata rantai produksi pangan tidak dikuasai oleh kelompok tertentu yang menikmati porsi terbesar dari uang negara.

Jika tidak dilakukan pembenahan, program ketahanan pangan berpotensi melahirkan ironi: bangsa yang mampu memproduksi beras raksasa, tetapi gagal menyejahterakan para pelakunya. Data ini menjadi alarm keras bagi semua pemangku kepentingan, bahwa ketahanan pangan tidak dapat tercapai tanpa keadilan distribusi keuntungan.

Negara melalui kementerian terkait didesak untuk mengaudit detail aliran dana, terutama pada titik yang dianggap paling menikmati nilai ekonomi terbesar: penggilingan padi dan industri pupuk. Investigasi menyeluruh diperlukan untuk mengetahui apakah angka-angka tersebut mencerminkan situasi sebenarnya atau terdapat praktik tidak adil yang merugikan petani.

Pada akhirnya, keberlanjutan ketahanan pangan tidak bisa berdiri tanpa kesejahteraan petani. Angka-angka dalam tabel distribusi keuntungan ini menjadi bukti bahwa kebijakan pangan nasional masih menyisakan persoalan besar yang harus segera dipecahkan.(***)

Tags:

#InvestigasiPangan, #TataNiagaBeras, #SubsidiPertanian, #AmranSulaiman, #PodcastAkbarFaisal, #RMU, #PetaniIndonesia, #KebijakanPangan, #KetimpanganEkonomi

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *