matabangsa.com – Medan: Upaya Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, menekan laju inflasi melalui berbagai program intervensi pangan dinilai belum berhasil. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Sumut pada Oktober 2025 masih mencapai 4,97 persen (yoy) — tertinggi di Indonesia — meski Pemprov telah mengguyur pasar dengan 50 ton cabai merah dari Jember, Jawa Timur
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Sumut pada Oktober 2025 mencapai 4,97 persen (yoy) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 110,89. Meski turun tipis dari September yang mencapai 5,32 persen, posisi Sumut tetap menjadi daerah dengan tingkat inflasi paling tinggi secara nasional.
Tingginya angka inflasi ini memperlihatkan bahwa berbagai kebijakan pengendalian harga yang dijalankan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut) belum efektif. Salah satu langkah yang dilakukan, yakni pembelian dan distribusi 50 ton cabai merah dari Jember, Jawa Timur, terbukti tidak mampu menekan laju inflasi bahan pangan.
Pengamat Anggaran Pemerintah, Elfenda Ananda, menilai kebijakan tersebut hanya bersifat reaktif dan tidak strategis. “Secara objektif, Gubernur Bobby Nasution dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) gagal. Kebijakan cabai merah itu tidak memberikan dampak nyata terhadap penurunan inflasi,” ujarnya di Medan, Rabu (5/11/2025).
Elfenda menambahkan, secara politik anggaran, Pemprov Sumut justru memangkas belanja fungsi ekonomi dari 13,65 persen menjadi 8,85 persen dalam P-APBD 2025. Kebijakan fiskal tersebut mempersempit ruang intervensi ekonomi, termasuk untuk memperkuat pasokan pangan strategis di daerah.
Ia juga menyoroti kualitas pasokan cabai dari Jember yang dilaporkan banyak rusak dan tidak layak konsumsi. “Akibatnya, pasokan tambahan tidak masuk ke pasar dalam jumlah signifikan. Distribusi pun tidak disiapkan dengan matang,” jelasnya.
Selain itu, waktu kedatangan pasokan juga tidak tepat. Ketika cabai merah dari Jember tiba, harga di pasar sudah terlanjur melonjak dan jalur distribusi lokal belum siap menyerap barang dalam jumlah besar. “Kebijakan ini lebih simbolis, tidak berbasis data, dan tidak melibatkan pedagang lokal,” tambah Elfenda.
BPS Sumut mencatat, kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang utama inflasi dengan komoditas yang mendorong kenaikan harga meliputi cabai merah, emas perhiasan, ikan dencis, beras, dan bawang merah. Meski sempat terjadi deflasi 0,20 persen (m-to-m), tekanan harga pangan tetap menjadi faktor dominan inflasi tahunan.
Di sisi lain, Kepala Biro Perekonomian Setdaprov Sumut, Poppy Marulita Hutagalung, menyebut intervensi pasar yang dilakukan melalui Program Jaminan Kestabilan Harga Komoditi Pertanian (Jaskop) sudah mulai menunjukkan hasil positif. “Inflasi Sumut berhasil turun dari 5,32 persen menjadi 4,97 persen pada Oktober. Ini berkat koordinasi TPID dan penyaluran cabai merah dari Jawa,” katanya.
Pemprov Sumut, lanjut Poppy, tetap berkomitmen menjaga stabilitas inflasi hingga akhir tahun dengan strategi 4K: Ketersediaan Pasokan, Kelancaran Distribusi, Keterjangkauan Harga, dan Komunikasi Efektif. Namun, pengamat menilai upaya tersebut harus diperkuat dengan intervensi multisektor dan perbaikan tata niaga pangan agar kebijakan pengendalian harga tidak sekadar seremonial.(das)






