Matabangsa – Medan: Trenyuh. Luar biasa. Ada empati. Karena saya menerima foto Kapolri Jenderal Idham Aziz dan seorang anggota Brimob yang tengah menjalani prosedur ketahanan fisik calon siswa Sekolah Inspektur Polisi (SIP). Ingatan saya langsung ke operasi gabungan TNI/Polisi. Operasi Tinombala, dan lainnya.
Yang luar biasa bukan hanya tentang SIP. Namun, keputusan Idham Aziz memberikan kesempatan sekolah bagi 11 orang polisi difabel. Mereka bukan difabel biasa. Akibat dari menjalankan tugas pekerjaan di lapangan.
Tak kurang Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia memberikan penghargaan dan dukungan kepada Kapolri.
Sebelas personel polisi tersebut berjuang sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Dari operasi melawan teroris di Poso, Papua, Aceh, sampai operasi lalu lintas dan lainnya. Termasuk operasi Cinta Damai (Aceh), Satgas Amole di Papua, Satgas Tanah Rencong, Satgas Aman Nusa, Kontak senjata di Aceh, kecelakaan dalam rangka pengamanan kunjungan Presiden RI, Satgas Unras di Papua, dan cidera saat peragaan HUT Brimob.
Banyak anggota Brimob – dan juga anggota TNI – memburu dan bertempur melawan teroris. Tewas. Mereka menjadi pahlawan dan diberikan pangkat anumerta. Nah, bagi yang terluka, seperti diamputasi, dan cacat permanen, kenaikan jabatan tentu diberikan. Keberhasilan operasi tentu membuahkan rewards bagi mereka.
Bagi Idham Aziz yang terlahir disiplin tentara, namun tetap sederhana, ada yang lebih bisa dilakukan. Salah satunya: peningkatan profesionalisme. Para difabel ini diberi kesempatan belajar. Sekolah Inspektur Polisi. Suatu penghargaan yang baru pertama kali dilakukan. Top.
“Ini wujud penghargaan Kapolri Jenderal Idham Aziz selaku pimpinan Polri dalam memberikan reward (penghargaan) kepada anggota yang telah berjasa melaksanakan tugas kepolisian dengan mengorbankan jiwa dan raga,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono di Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Keputusan ini makin menarik dilihat dari sisi pola pikir Idham Aziz. Tentang landasan pengambilan keputusan. Dia memraktikkan teori psikologis pengambilan keputusan ala Amos Tversky yang sangat terstruktur. Teori psikologi pengambilan keputusan itu, ternyata terkait dengan sisi rekam jejak pribadi Jenderal Polisi yang laghir di Kendari 30 Januari 1963 ini.
Catatan tentang Idham Aziz adalah catatan tentang komitmen dan perjuangan. Secara pribadi Idham Aziz adalah sosok yang sangat sederhana. Maka, keputusan untuk memberikan hadiah penghargaan kepada para difabel menggambarkan empatinya pada sesama anggota kepolisian.
Di berbagai kesempatan dia bahkan tak segan hanya mengenakan sandal jepit, meskipun dia seorang Kapolri. Kisah tentang Idham Aziz sebagai siswa SD yang rajin belajar dan memiliki kemampuan mengingat yang sangat baik – yang kelak dibutuhkan di bidang reserse dan intelijen.
Idham Aziz adalah kebersamaan perjuangan operasi bersama Tito Karnavian, satu kolega tegak lurus. Keduanya adalah para pemburu teroris. Lulusan Akademi Kepolisian 1988 ini spesialis di bidang reserse dan anti-teror.
Idham Aziz terlibat dalam dua operasi gabungan TNI/Polri Camar Maleo (2014-2016) dan Tinombala (2016) ketika dia menjadi Kapolda Sulawesi Tengah. Dia mengungkap juga Bom Bali II. Pada 2005 bersama Tito Karnavian, Petrus Reinhard Golose, Rycko, dan M. Sayfei meringkus teroris nomor satu Dr. Azhari dan teroris kelompok Batu. Mereka mendapatkan hadiah penghargaan dari Kapolri Jenderal Sutanto.
Komitmen tinggi di bidang reserse dan anti-teror membawa Tito dan Idham terus berkiprah di Mabes Polri. Tito menjadi Kepala BNPT dan Idham mengepalai Bareskrim Polri. Kisah pergantian dua kolega pun membawa Tito menjadi Kapolri menggantikan Badrodin Haiti. Giliran berikutnya, Idham menjadi Kapolri menggantikan Tito Karnavian, yang keduanya pernah menjadi Kapolda Metro Jaya.
Dalam Sagi, & Friedland, 2007, Juliusson, Karlsson, dan Garling (2005) menyebutkan tentang faktor pengalaman masa lalu yang memengaruhi pengambilan keputusan. Maka, itulah sebabnya ketika mengambil keputusan, Idham Aziz menghasilkan keputusan berdasarkan pengalaman batin empiris yang dia lalui. Keputusan yang diambil menggambarkan sisi kesamaan pikiran dan pengalaman. Temasuk kesempatan bagi 11 difabel untuk melanjutkan pendidikan bagi 11 difabel di Sekolah Inspektur Polisi (SIK).
Idham memiliki visi ke depan untuk mereka. Sekaligus dia juga melihat sisi rekam jejak diri para difabel yang telah berjuang maksimal. Hingga mereka tertembak dan terluka – bahkan banyak yang tewas. Maka memberi kasempatan jalan bagi difabel adalah kesempatan luar biasa. Hingga kita bisa suatu saat melihat para perwira, yang telah berjuang, tertembak seperti Bripka Andrew dan Bripda Baso, dan yang lainnya. (Ninoy Karundeng/ril)