Opini

Film Dirty Vote Serta Pentingnya Bangsa Kita Memiliki Rasa Malu Wujudkan Pemilu 2024 yang Bersih, Jurdil Serta Berintegritas

 

Oleh : Roy Fachraby Ginting
Dosen Universitas Sumatera Utara

Menjelang pencoblosan suara dalam Pemilu tahun 2024, publik di kejutkan dengan adanya pemutaran film Dirty Vote yang mengungkap desain kecurangan pemilu ini.

Film ini tentu menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat karena dirilis jelang pemungutan suara Pemilu 2024.

Film dokumenter ini tayang perdana pada tanggal 11 Februari 2024 yang berdurasi 1 jam 57 menit serta menampilkan tiga pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti dan Feri Amsari yang menyampaikan berbagai desain kecurangan yang ditemukan pada Pemilu 2024.

Film Dirty Vote disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono, seorang jurnalis investigasi yang sudah sering mengkritik kebijakan pemerintah melalui film. Dirty Vote bukanlah film pertama Dandhy yang dibuat dalam momentum pemilu.

Film Dirty Vote bercerita tentang desain kecurangan Pemilu 2024 dari sudut pandang para pakar hukum tata negara di Indonesia. Mulai dari ucapan berbeda-beda Jokowi soal anak-anaknya yang terjun ke dunia politik.

Film ini juga mengungkapkan ketidaknetralan para pejabat publik, wewenang dan potensi kecurangan kepala desa, anggaran dan penyaluran bansos, penggunaan fasilitas publik, hingga lembaga-lembaga negara yang melakukan pelanggaran etik.

Dalam film ini di sajikan berbagai kecurangan kecurangan tersebut yang tidak didesain dalam semalam dan tidak sendirian. Sebagian besar rencana kecurangannya terstruktur sistematis dan masif, yang dilakukan oleh kekuatan yang selama 10 tahun terakhir berkuasa bersama.

Sebenarnya desain kecurangan Pemilu 2024 bukanlah rencana hebat. Sebab, skenario yang sama dilakukan rezim-rezim sebelumnya di banyak negara. Dalam film ini di tampilkan bahwa untuk menyusun dan menjalankan kecurangan tidak perlu pintar atau cerdas, hanya perlu mental culas dan tahan malu.

Fim ini memberikan kita informasi dan edukasi bahwa Pemilu 2024 tidak bisa dianggap baik-baik saja. Masyarakat harus sadar telah terjadi kecurangan luar biasa pada pemilu kita di tahun 2024 ini.

Film Dirty Vote memperlihatkan bagaimana para politisi mempermainkan rakyat demi kepentingan pribadi. Juga berbagai aksi kecurangan yang nyata dan terlihat publik, tapi tidak pernah ditindak.

Penyalahgunaan kekuasaan yang terlihat nyata demi memenangkan pemilu yang justru merusak tatanan demokrasi. Termasuk sorotan pada kekuatan besar di balik pasangan calon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming yang disebut-sebut paling banyak melakukan kecurangan.

Film Dirty Vote menyampaikan data seputar pelaksanaan Pemilu 2024. Banyak hal yang dibicarakan, seperti syarat menang satu putaran Pilpres 2024, penunjukan 20 penjabat (Pj) Gubernur dan Kepala Daerah, hingga keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang dinilai menguntungkan Gibran Rakabuming Raka.

Film ini juga membahas potensi kecurangan kepala daerah. Potensi tersebut berupa mobilisasi birokrasi, izin lokasi kampanye, serta memberikan sanksi atau membiarkan kepala desa yang tidak netral.

Wewenang dan potensi kecurangan juga berpeluang dilakukan seorang kepala desa. Alasannya, mereka berwenang menentukan data pemilih, penggunaaan dana desa, data penerima Bansos, PKH, dan BLT, serta wewenang lain berupa alokasi Bansos.

Selain di level daerah, kecurangan juga terjadi di level atas alias pejabat pemerintah. Mereka mengambil contoh tindakan yang dilakukan para Menteri lewat sebuah video yang mengkampanyekan paslon tertentu.

Anggaran Bansos semakin meningkat jelang Pemilu 2024, yakni mencapai 500 triliun hingga melebihi angka Bansos selama pandemi COVID-19.

Bawaslu juga dianggap tidak kompeten sebagai lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan Pemilu 2024. Bawaslu dinilai gagal dalam menjalankan tugas sebagai pengawas proses penyelenggaraan Pemilu. Tak hanya Bawaslu, KPU tidak luput dari perhatian. KPU sebagai penyelenggara Pemilu justru meloloskan Partai Gelora yang dilaporkan tidak memenuhi syarat.

Keputusan KPU lain yang dianggap bermasalah ialah terkait lolosnya Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres) setelah putusan MK. Padahal, KPU belum membuat aturan turunan untuk menyikapi putusan MK yang mengubah syarat pencalonan capres cawapres.

Film ini ikut menyinggung kasus Ketua KPU Hasyim Asyari yang sudah dijatuhi sanksi hingga 3 kali berupa peringatan keras terakhir. MK selaku lembaga yang harusnya menegakkan konstitusi dituding ikut terlibat rentetan kecurangan Pemilu 2024.

Sejumlah hal yang membuat MK layak dianggap sebagai lembaga yang menjadi puncak masalah adalah terjadi kontradiksi Mahkamah Konstitusi dan cara instan untuk mengubah Undang-Undang tanpa DPR.

Kemudian adanya konflik kepentingan, pendapat hukum 9 hakim konsitusi, semua permohonan yang ditolak kecuali sebuah perkara, keputusan yang langsung berlaku, hingga kasus permohonan yang sudah dicabut namun didaftarkan lagi.

Grafik data-data kecurangan Pemilu 2024 itu disajikan dengan penjelasan ketiga narasumber. Dan pada akhirnya film ini menjadi sebuah catatan sejarah tentang rusaknya demokrasi di Indonesia.

Berbagai tanggapan muncul setelah di putarnya film ini. Salah satu adalah Jusuf Kalla yang menyebut film Dirty Vote masih terbilang ‘ringan’ dibandingkan dengan kenyataan yang terjadi sebenarnya.

Mantan Wakil presiden Jusuf Kalla menyebut film dokumenter, Dirty Vote hanya menangkap 25 persen dugaan kecurangan selama proses Pemilu dan Pilpres 2024. Beliau mengapresiasi fakta dan data yang ditunjukkan film Dirty Vote. Namun, dia menilai data-data tersebut masih ringan dan belum menangkap semua dugaan kecurangan yang terjadi.

Menonton film ini akhirnya memberikan pelajaran untuk kita akan pentingnya rasa malu sebagai pagar agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang melanggar norma atau etika. Film ini dapat menjadi momentum refleksi yang penting agar ketika seseorang di beri amanah menjadi pemimpin harus bisa adil dan netral dalam pesta demokrasi mewujudkan ketertiban dan aman dan nyaman bagi rakyat.

Ajaran agama juga mengajarkan kepada kita tentang rasa malu. Jika kita tidak punya rasa malu, maka berbuatlah sekehendak kita dan itu bermakna bahwa rasa malu sebagai sebuah faktor yang dapat menjauhkan seseorang dari perbuatan tidak terpuji dan mendorong yang bersangkutan untuk berbuat kebajikan dan dengan demikian pemimpin akan hadir dengan sifat dan karakter kenegarawanannya.

Rasa malu merupakan fundamental untuk menjauhkan diri dari keburukan. Seseorang yang masih memiliki rasa malu akan takut melakukan tindakan yang tidak sesuai norma, nilai, dan etika. Dengan demikian, bila rasa malu ini di pegang maka Pemilu tahun 2024 akan berjalan dengan jujur dan adil serta terbuka dan berintegritas.

Budaya malu merupakan nilai luhur yang dimiliki masyarakat secara turun-temurun. Namun, budaya malu dapat luntur seiring perkembangan zaman yang mengaburkan standar-standar etika dan moral masyarakat.

Oleh sebab itu, semua elemen bangsa sangat berperan penting untuk menjaga budaya malu dalam masyarakat. Masyarakat memerlukan ajaran, nasihat, dan edukasi agar rasa malu individual dapat berkembang menjadi tata nilai komunal yang kokoh sehingga akan lahir para pemimpin yang arif dan bijaksana dengan karakter kenegarawananan yang tetap teruji.

Seluruh masyarakat hendaknya menyukseskan agenda Pemilu 2024 mendatang, dengan kematangan dan kedewasaan berdemokrasi, diharapkan Indonesia akan senantiasa dianugerahi pemimpin yang mampu menjaga diri dari sifat dan karakter keserakahan, rasa tidak puas atas nikmat kekuasaan dan mabuk dengan sanjungan sehingga ucapan dan perbuatan tidak lagi bisa menyatukan berbagai perbedaan demi mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.”””

Print Friendly, PDF & Email
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top